Senin, 25 Januari 2010

Pesantren, Masihkah Pesantren?

Ketika zaman raja-raja menguasai Nusantara dan tanah Jawa, kaum santri pesantren waktu itu diberi keistimewaan berupa ’’tanah perdikan’’, menjadi pemangku adat dan keistimewaan lain. Menjadi kaum santri pesantren masa itu tergolong ’’elite’’

Dahulu seorang kiai pesantren kerap mengunjungi asrama dan ke kamar santri-santri untuk memperbincangkan segala perkara yang dihadapi —laik bahsul masail— baik yang ilmiah maupun amaliah, di samping akrab dengan masyarakat sekitar pesantren. Hubungan masyarakat dan pesantren pun begitu erat, dekat, begitu menyatu.

Dari suasana itulah lahir pemikir-pemikir yang kompeten seperti; Kiai Nawawi (Tanara, Banten; 1815-1897), Kiai Ihsan (Jampes, Kediri), Kiai Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang; 1871-1947),

Kiai Ali Maksum (Krapyak, Yogjakarta; 1915-1989), Kiai Bisri Mustofa (Rembang; 1915-1977), dan kiai-kiai lain, yang karya-karyanya hingga kini masih ’’ngetop’’. Karya-karya mereka berupa kitab-kitab, catatan-catatan hikayat, dan syiiran. Reputasi intelektualnya pun tinggi di kancah dunia.

Kiai Nawawi, selain seorang ulama, beliau juga pengarang ulung, sejumlah 411 kitab yang terdiri atas ajaran moral Islam (ilmu bahasa, hadis, akhlak), teologi (ilmu tafsir, fikih, ushul fiqh), dan mistisisme (tasawuf). Karya-karyanya menjadi bekal bagi generasi ulama berikutnya —seperti Kiai Hasyim Asy’ari,

Abdullah Wahab Hasbullah, Ahmad Dahlan dan sebagainya. Begitu besar jasa Kai Nawawi dalam pengembangan dakwah Islam, ia memeroleh gelar sayyid ulama Hijaz dan namanya pun tercantum dalam kamus Al-Munjid karya Louis Ma’luf —sebuah kamus berbahasa arab yang dikenal dunia paling lengkap.
Paro 1899 Kiai Hasyim Asy’ari —selepas belajar dari Kiai Nawawi— membeli sebidang tanah dan membangun pesantren di atasnya.

Pesantren baru yang awalnya sangat sederhana yang terbuat dari bambu itu dikembangkan bersama delapan santri hingga kini pesantren itu dikenal dengan nama Pesantren Tebuireng. Dari tahun ke tahun pesantren itu mengalami perkembangan pesat.

Pada 40-an di Pulau Jawa terdapat sekitar 25.000 ulama dan kiai, sebagian besar para kiai itu ternyata pernah menjadi santri di Tebuireng, bahkan para kiai yang kemudian mendirikan pesantren baru (pesantren-pesantren yang terkemuka saat ini) seperti Pesantren Lasem, (Rembang), Pesantren Darul Ulum, Pesantren Mambaul Maarif (Jombang), Pesantren Lirboyo (Kediri),

Pesantren Asam Bagus (Situbondo), dan Pesantren Krapyak (Yogyakarta), dan Pesantren-pesantren lainnya. Karena jasanya itulah kiai Hasyim Asy’ari kemudian mendapat gelar kiai agung atau hadratussyeikh.
Bentuk Ideal Sebagai tokoh dan pimpinan gerakan Islam di Indonesia dan untuk mengenang jasa dan pengabdiannya kepada tanah air, Presiden Soekarno melalui Keppres No 294 tahun 1964 menetapkan KH Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.
Pesantren adalah miniatur Indonesia.

Di sinilah tempat bertemu keanekaragaman budaya yang dibawa masing-masing santri sekaligus pencetak kader ulama.

Maka dibekali ilmu bermasyarakat. Namun, kiai pesantren sekarang agaknya lupa dengan bentuk ’’ideal’’ yang pernah dipunyai.

Dalam catatan sejarah, pesantren dinilai tidak hanya mengandung makna keislaman, melainkan juga mengandung makna keaslian Indonesia.

Kenyataan ini tidak lepas dari proses panjang islamisasi yang dilalui, bahwa pesantren ikut terlibat di dalamnya. Selama proses tersebut pesantren dengan ’’canggih’’ telah melakukan akomodasi dan tranformasi sosio-kultural terhadap pola kehidupan masyarakat sekitar.

Kelebihan pesantren antara lain; pertama; sistem pondoknya yang memungkinkan pendidik (kiai) melakukan tuntunan dan pengawasan langsung pada santrinya, kedua; keakraban antar santri dan kiai yang sangat kondusif bagi pemerolehan pengetahuan yang hidup, ketiga; kemampuan pesantren mencetak lulusan yang punya kemandirian, keempat; kesederhanaan pola-gaya hidup komunitas pesantren, kelima; murahnya biaya pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan.

Maka begitu efisien dan efektifitasnya, pendidikan yang terselenggara di pesantren tersebutlah ia sebagai akar keindonesiaan.
Eksodus Kiai
Islam dan seluruh ajarannya adalah politik atau syiasah. Seorang ’’imam’’ atau kiai bertugas menyejahterakan umat, dalam kaidah dasar syariat;

’’Tashararful-imam , alariyyah manutun bil-maslahah’’, apa yang disebut politik ’’kekuasaan’’ adalah apa yang ’’diamanatkan’’ Islam mengingat Islam berdiri di atas dua hal; yakni kedaulatan (kekuasaan) dan kebudayaan.

Pesantren sendiri adalah produk budaya, dan yang dilakukan pesantren adalah kerja-kerja budaya.

Fenomena eksodusnya para kiai menuju politik praktis disinyalir Zainal Arifin Thoha (almarhum) sebagai pertanda runtuhnya singgasana kiai, hal ini disebabkan karena para kiai itu, kini sudah banyak yang meninggalkan dunia pesantren bahkan meninggalkan kerja-kerja sosio-kultural, pemberdayaan dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya.

Barangkali tidak berlebihan jika A. Mustofa Bisri menyebut; ’’kiai, kemaruk politik’’.

Jika dahulu pesantren adalah institusi keagamaan, keilmuan, dan pendidikan kemasyarakatan, kini identitas itu luntur, berubah dan bergeser lantaran peran pesantren berganti menjadi lembaga penyembuhan, biro jodoh, dan bahkan mesin politik partai penggerak massa. Jadi, pesantren (hari ini) masihkah pesantren? (35)

—Imam Hamidi Antassalam, Alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 28 Oktober 2009

sumber: http://artikel-media.blogspot.com/2009/10/pesantren-masihkah-pesantren.html

Selasa, 29 Desember 2009

DIY Serambi Madinah

Yogyakarta, Cybernews. Wacana menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai Serambi Madinah karena faktor sejarah yang dimiliki provinsi tersebut memerlukan penguatan dalam bentuk peraturan daerah (perda) sekaligus untuk menguatkan keistimewaan Yogyakarta.

"Konsep untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah sudah ada dan dalam waktu dekat ini, Keraton Ngayogyakarta juga akan mengadakan sarasehan untuk mematangkan konsep tersebut," kata Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY Muhammad Jazir di sela-sela Semiloka Optimalisasi Pengelolaan Masjid di Yogyakarta, Sabtu (26/12).

Menurut dia, konsep untuk menjadikan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut semata-mata ditujukan untuk mengembalikan jati diri Yogyakarta sesuai dengan konsep awal pembangunan wilayah tersebut. "Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi I dengan konsep pesantren besar dan bukan mengatasnamakan kekuasaan tetapi berbasis pada kekhalifahan," katanya.

Dengan demikian, lanjutnya, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah akan mampu mendukung keistimewaan DIY, sehingga keistimewaan tersebut tidak hanya dimaknai dalam masalah pemilihan atau penetapan gubernur saja, tetapi lebih kepada cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut tidak harus dimaknai dengan pelaksanaan syariat Islam yang saklak tetapi lebih kepada pengertian aplikatif bukan dalam arti formalistik tetapi berbasis peradaban. Melalui perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut, Jazir melanjutkan, masyarakat Yogyakarta diharapkan dapat memiliki peluang lebih besar untuk mengaplikasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Namun demikian, ia meyakini, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut tidak akan menimbulkan konflik baru di masyarakat, mengingat masyarakat Yogyakarta yang plural. "Saya yakin, umat lain akan paham dan menerima, karena di dalam masyarakat dengan kaum muslim sebagai mayoritas, maka umat minoritas akan terlindungi," katanya.

Sementara itu, salah satu cara untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah adalah penguatan fungsi masjid di masyarakat, khususnya dalam penyampaian dakwah. Dengan demikian, masjid berfungsi menjadi pencerahan kepada masyarakat dan konsep untuk DIY sebagai Serambi Madinah dapat diwujudkan.

Penguatan masjid pun, menurut Herry, dapat dilakukan dengan kemitraan antar masjid, khususnya dalam manajemen. "Dengan manajemen yang terintegrasi, isu yang digulirkan pun akan menjadi lebih besar dan mengena di masyarakat," ujarnya.

( Ant / CN12 )

dari: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/12/26/42944/DIY-Serambi-Madinah

Kamis, 24 Desember 2009

Selain Mengaji, Santri pun Bisa Buat Robot

Taufan Yudha
01/09/2009 11:14
Liputan6.com, Kudus: Jika akhir-akhir ini santri pondok pesantren (ponpes) menjadi sorotan pemberitaan terkait merebaknya jaringan terorisme. Namun, nampaknya hal itu tidak berlaku bagi para santri di Ponpes Assa'idiyyah, Desa Kirig, Mejobo, Kudus, Jawa Tengah.

Pasalnya, untuk mengisi kegiatan selama bulan Ramadan ini, mereka memiliki cara tersendiri. Bahkan bisa dikatakan pesantren itu mempunyai cara yang tidak wajar dalam mengisi bulan Ramadan. Mereka tak hanya sekadar mengaji dan tadarus, melainkan juga bisa merakit robot.

Berdasarkan pantauan tim SCTV, Senin (31/8), aula Masjid Ponpes Assa'idiyyah dijadikan bengkel atau tempat merakit robot selalu dipenuhi para santri. Dalam aula itu terlihat beberapa santri sedang menyiapkan sebuah lintasan di atas papan putih dengan solasi hitam. Sementara beberapa santri lainnya terlihat sibuk merangkai beberapa alat elektronik.

Selang waktu kemudian, tiga buah mesin pun telah jadi. Mesin itu adalah robot line follower yang memiliki kemampuan membaca sensor garis di papan, sehingga dapat melaju sesuai dengan garis lintasannya.

Prestasi santri Ponpes Assa'idiyyah dalam membuat robot cukup membanggakan. Sebelumnya, dalam lomba robotika tingkat Jateng yang digelar Politeknik Universitas Dipenogero pada Tahun 2009, mereka berhasil menyabet juara satu sekaligus juara dua. Sedangkan dalam kontes robot tingkat Jateng dan Yogyakarta di Universitas Teknologi Yogyakarta, robot santri Assa'idiyyah menyabet juara tiga.

Menurut pengasuh Ponpes Assa'idiyyah, Harmoko, untuk membuat sebuah robot diperlukan waktu sekitar enam bulan dengan biaya hampir Rp 2 juta. Sedangkan bahan yang dipakai berasal dari mainan bekas yang sudah tak terpakai.

Rencananya Ponpes Assa'idiyyah akan terus mengembangkan tekonologi robot ciptaan mereka. Tak sebatas robot lintasan namun juga robot inovasi, seperti robot pemadam kebakaran. Bahkan mereka berobsesi untuk menciptakan sebuah robot yang dapat menjinakkan bom.(UPI/DIO)

Dari: http://tekno.liputan6.com/berita/200908/242624/Selain.Mengaji.Santri.pun.Bisa.Buat.Robot

Rabu, 09 Desember 2009

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN
Oleh. Muhammad Raqib

Bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami perubahan besar-besaran yang terjadi secara radikal dan kritis. Sebagian perubahan itu, tidak hanya menuntun pada krisis ekonomi, politik, tetapi telah merambah ke wilayah yang paling fundamental, yakni krisis moral. Sehingga pada akhirnya memaksa warga negeri ini kehilangan harapan. Ketika sebagian besar orang lebih peduli kepada kelompoknya sendiri, dunia pesantren justru terpanggil memainkan peran sebagai pembangkit kesadaran kebangsaan.

Sebagai alumni yang sama-sama telah lama mengenyam pendidikan di dunia pesantren, penulis mengajak untuk mencermati, memahami dan mengambil sikap atas perubahan tersebut. Dengan demikian, kita akan menemukan ide-ide segar tentang bagaimana cara memahami diri dan institusi pesantrennya sebagai misi perubahan.

Pesantren adalah lembaga keagamaan yang terbilang cukup lama, telah berkiprah dalam pengembangan ilmu keislaman tradisional dengan bingkai Aswaja dan moralitas luhur yang disandangnya dengan kearifan lokal.

Pada awal kelahirannya, pesantren tumbuh dan berkembang di berbagai daerah pedesaan. Di mana keberadaan pesantren, sangat kental dengan karakteristik Indonesia yang memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat.

Realitas menunjukkan bahwa pesantren sampai saat ini, memiliki pengaruh cukup kuat dalam setiap aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh tersebut, membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa setip upaya yang ditunjukkan untuk pengembangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan perlu melihat dunia pesantren.

Secara substansial, pesantren tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat pedesaan. Karena, lembaga pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertian yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnyan merupakan pendidikan yang syarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren terikhtiarkan meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral dan kemudian dikembangkan dengan rutinitas-rutinitas pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Pengabdian sosial masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dan nilai-nilai yang dipegang pesantren. Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri lebih tepatnya lagi dunia pesantren adalah seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah.

Maksudnya, kehidupan dunia disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang mereka peluk sebagai nilai yang tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai keikhlasan, kesederhanaan dan kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat yang pada gilirannya dikembangkan sebagai nilai yang paling substansial.

Di samping ketiga nilai-nilai tersebut (keikhlasan, kesederhanaa, kemandirian) sebagai landasan dasar dan menjadi acuan masyarakat luas, dan secara fundamental juga sebagai senjata untuk membendung kungkungan kapitalisme, globalisasi yang saat ini hampir menjadi agama baru yang tidak lagi terlekat oleh dimensi ruang dan waktu. Hal itu pada akhirnya membawa perubahan yang cukup signifikan dalam proses kehidupan bangsa Indonesia dari segi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dalam perspektif ini, pesantren sebagi basis keagamaan yang tidak lepas dari realitas objektif, dituntut untuk melakukan gerakan-gerakan moral-kultural dapat membaca dan memberikan solusi terhadap persoalan dan perubahan yang ada, mampu menjadi katalisator yang populis serta menumbuhkan nilai positif pesantren, setidaknya menjadi “besi” sebagai penangkis dari ketajaman pedang globalisasi, modernisasi, kapitalisme dan lain-lain yang berdampak pada budaya negatif terhadap tatanan sosial dan moralitas bangsa Indonesia.

Realitas kongkrit yang dihadapi masyarakat itu, menjadi tugas utama bagi sebuah lembaga pesantren yang menjadi standarisasi masyarakat luas untuk lebih respek terhadap fenomena yang terjadi guna menata kehidupan dan moralitas bangsa dengan mengacu pada ajaran Nabi Muhammd.

(Alumni Annuqayah 2005)

dari http://rumahiaajogja.blogspot.com/2009/01/menatap-masa-depan-pesantren.html

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN
Oleh. Muhammad Raqib

Bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami perubahan besar-besaran yang terjadi secara radikal dan kritis. Sebagian perubahan itu, tidak hanya menuntun pada krisis ekonomi, politik, tetapi telah merambah ke wilayah yang paling fundamental, yakni krisis moral. Sehingga pada akhirnya memaksa warga negeri ini kehilangan harapan. Ketika sebagian besar orang lebih peduli kepada kelompoknya sendiri, dunia pesantren justru terpanggil memainkan peran sebagai pembangkit kesadaran kebangsaan.

Sebagai alumni yang sama-sama telah lama mengenyam pendidikan di dunia pesantren, penulis mengajak untuk mencermati, memahami dan mengambil sikap atas perubahan tersebut. Dengan demikian, kita akan menemukan ide-ide segar tentang bagaimana cara memahami diri dan institusi pesantrennya sebagai misi perubahan.

Pesantren adalah lembaga keagamaan yang terbilang cukup lama, telah berkiprah dalam pengembangan ilmu keislaman tradisional dengan bingkai Aswaja dan moralitas luhur yang disandangnya dengan kearifan lokal.

Pada awal kelahirannya, pesantren tumbuh dan berkembang di berbagai daerah pedesaan. Di mana keberadaan pesantren, sangat kental dengan karakteristik Indonesia yang memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat.

Realitas menunjukkan bahwa pesantren sampai saat ini, memiliki pengaruh cukup kuat dalam setiap aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh tersebut, membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa setip upaya yang ditunjukkan untuk pengembangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan perlu melihat dunia pesantren.

Secara substansial, pesantren tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat pedesaan. Karena, lembaga pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertian yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnyan merupakan pendidikan yang syarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren terikhtiarkan meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral dan kemudian dikembangkan dengan rutinitas-rutinitas pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Pengabdian sosial masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dan nilai-nilai yang dipegang pesantren. Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri lebih tepatnya lagi dunia pesantren adalah seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah.

Maksudnya, kehidupan dunia disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang mereka peluk sebagai nilai yang tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai keikhlasan, kesederhanaan dan kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat yang pada gilirannya dikembangkan sebagai nilai yang paling substansial.

Di samping ketiga nilai-nilai tersebut (keikhlasan, kesederhanaa, kemandirian) sebagai landasan dasar dan menjadi acuan masyarakat luas, dan secara fundamental juga sebagai senjata untuk membendung kungkungan kapitalisme, globalisasi yang saat ini hampir menjadi agama baru yang tidak lagi terlekat oleh dimensi ruang dan waktu. Hal itu pada akhirnya membawa perubahan yang cukup signifikan dalam proses kehidupan bangsa Indonesia dari segi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dalam perspektif ini, pesantren sebagi basis keagamaan yang tidak lepas dari realitas objektif, dituntut untuk melakukan gerakan-gerakan moral-kultural dapat membaca dan memberikan solusi terhadap persoalan dan perubahan yang ada, mampu menjadi katalisator yang populis serta menumbuhkan nilai positif pesantren, setidaknya menjadi “besi” sebagai penangkis dari ketajaman pedang globalisasi, modernisasi, kapitalisme dan lain-lain yang berdampak pada budaya negatif terhadap tatanan sosial dan moralitas bangsa Indonesia.

Realitas kongkrit yang dihadapi masyarakat itu, menjadi tugas utama bagi sebuah lembaga pesantren yang menjadi standarisasi masyarakat luas untuk lebih respek terhadap fenomena yang terjadi guna menata kehidupan dan moralitas bangsa dengan mengacu pada ajaran Nabi Muhammd.

(Alumni Annuqayah 2005)

dari http://rumahiaajogja.blogspot.com/2009/01/menatap-masa-depan-pesantren.html

Selasa, 01 Desember 2009

Pesan Soal Pesantren Buat Muhammad Nuh Menteri Pendidikan RI

Pesan (1): Pak Menteri, tolong Anda perhatikan kembali spirit pendidikan pesantren dulu ketika bangsa ini merumuskan jatidirinya. Ki Hajar Dewantara bikin Taman Siswa di antaranya dengan spirit pesantren: kesederhanaan, kemandirian, tolong menolong, dan anti kolonialisme. Karena baginya, pesantren adalah satu bentuk pendidikan nasionalis…

Pesan (2): “Taman Siswa belajar dari pesantren tentang politik non-kooperasi, penyokong swadeshi, anti subsidi, dan pendidikan sebagai pencerdasan bangsa. Slogan Taman Siswa “pendidikan untuk si kromo”, pendidikan untuk semua, “Didiklah …kamu sendiri!”, dan pendidikan untuk pemerdekaan, hampir semua ditimba dari pesantren. Itu sebabnya Taman Siswa lebih diterima di Jawa Timur dibanding di Yogya sendiri.

Pesan (3): Tapi, dasar penjajah dimanapun dan kapanpun, kolonial Belanda tidak suka persatuan Jawa-nya Taman Siswa dengan pesantren. Residen Yogyakarta, Jonquiere, menyebut Taman Siswa “verdervelijk” (bersifat merusak) serta memperingatkan golongan Islam bahwa cita-cita pendidikan Taman Siswa “tidak mengenal Tuhan” (ateis) dan “anti agama Islam”. Wah…

Pesan (4): Filosofi pendidikan pesantren: 1) sebagai sarana membentuk kemampuan bekerja dan beramal kaum santri; 2) sarana utama memahami pengalaman, menguji berbagai kecenderungan dunia ini, dan untuk memahami karakter bangsa ini, untuk membangkitkan segenap kekuatan bangsa ini; 3) untuk membentuk karakter, mengasah santri menjadi kekuatan independen, dan untuk bertahan di dunia ini. Dimanakah kini itu?

Pesan (5): Pelajaran pertama dalam pesantren adalah bagaimana kita memulai dari diri sendiri. Berbuat kebaikan dan berkorban. Lalu memberi kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang lain. Orang-orang pesantren sering mengutip hadis ini, “Khairunnas anfa’uhum linnas”. Berkorban, untuk menambah kekuatan batin. Karena adanya sebuah cita-cita dan pendirian. Apa respon Anda Pak Menteri?

ditulis oleh Ahmad Baso, Misbahuddin Jamal di pesan Facebook.com yang saya terima 27 Oktober 2009.

dari http://mishbahulmunir.wordpress.com/2009/10/28/pesan-soal-pesantren-buat-muhammad-nuh-menteri-pendidikan-ri/#comment-1155

Santri Jogja Memahami Pesantren Dan Kesantriannya

Santri Jogja Memahami Pesantren Dan Kesantriannya (Part I)
Posted on May 23, 2009 by pplq

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di indonesia, pesantren juga telah menunjukkan eksistensinya, baik melalui perannya dalam pengembangan masyarakat kecil, maupun perannya dalam usaha penyelamatan generasi muda dari ancaman dekadensi moral.

Pesantren sebagi sebuah sistem dalam lika-liku perjalanannya juga telah mengalami berbagai macam perkembangan, bila pada awalnya pesantren muncul dari dan atas kebutuhan masyarakat sekitar terhadap pembelajaran, yang sebagaimana yang saya ketahui bahwa kiai zaman dulu mempunyai sebuah pesantren melalui pengalaman sosial yang tidak pendek, biasanya di awali dengan pengajian-pengajian kecil yang beliau-beliau adakan di surau-surau mereka, yang kemudian pengajian-pengajian itu menjadi ramai dan besar, yang kemudian masyarakat jawa yang terbiasa dengan kebudayaan jawanya akan mulai memasrahkan anak-anaknya untuk dididik oleh kiai-kiai tadi, sebagaimana nenek moyang mereka dulu menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada para brahman, semula yang menitipan anaknya hanya seorang demi seorang namun seiring dengan semakin timbunya pencitraan pada masyarakat dan pentingnya sebuah pengetahuan maka lama-kelamaan pengajian kecil_surau tadi bertranformasi menjadi sebuah pesantren.

Dalam segi materi yang diajarkan pesantren juga telah bertransformasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat serta bangsa, bila pada zaman perjuangan dulu pesantren mengajarkan tentang ilmu agama disertai dengan pembelajaran anti penjajah dan cinta tanah air, maka sudah menjadi keharusan pesantren sekarang untuk melakukan instrospeksi dan otokritik serta pembacaan terhadap apa yang manjadi kebutuhan dari masyarakat dan bangsa, di era sekarang.

Yang menarik kemudian adalah bahwa pesantren di hadapkan kepada sejarah keberhasilannya mencetak santri-santri yang mampu menjadi tuntunan di masyarakatnya masing-masing, dan yang menjadi penting untuk dipahami dan dimengerti adalah bahwa sistem pengajaran pada kala itu sesuai dengan tuntutan zaman, dalam artian sesuai dengan sosial budaya yang ada pada zaman itu.

Kemudian yang menjadi tugas penting kalangan pesantren sekarang adalah bagaimana menjawab kebutuhan bangsa sekarang, kebutuhan akan santri-santri yang mampu menjawab berbagai permasalahan, baik itu permasalahan keagamaan maupun permasalahan kemasyarakatan lainnya, untuk itu sudah menjadi keharusan bagi kita sebagai seorang santri untuk mencari bagaimana formula yang pas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas.

Dan tentunya kita sebagai santri yang hidup di kota jogja , yang selalu diidentikkan dengan dengan kota pelajar juga mempuyai tanggung jawab yang sama, karena kita secara intelektual dan sosial akan lebih memiliki kapasitas untuk menjawab hal-hal diatas.

Untuk itu mari kita mulai untuk kembali meredefinisikan arah gerak adan fungsi pesantren serta bagaimana kita harus mempertanggung jawabkan status kesantrian kita, sembari kita membuka diri pada dunia luas, agar pesantren kembali mampu melestarikan tradisinya sebagai sebuah lembaga yang mampu menjawab segala kebutuhan masyarakat indonesia.(Zaim-red)wallahua’lam

dari http://www.blogcatalog.com/blog/blog-pp-al-luqmaniyyah-jogjakarta/0b33aa7f0e0340ddeb3b29e394950ee1