Selasa, 29 Desember 2009

DIY Serambi Madinah

Yogyakarta, Cybernews. Wacana menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai Serambi Madinah karena faktor sejarah yang dimiliki provinsi tersebut memerlukan penguatan dalam bentuk peraturan daerah (perda) sekaligus untuk menguatkan keistimewaan Yogyakarta.

"Konsep untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah sudah ada dan dalam waktu dekat ini, Keraton Ngayogyakarta juga akan mengadakan sarasehan untuk mematangkan konsep tersebut," kata Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY Muhammad Jazir di sela-sela Semiloka Optimalisasi Pengelolaan Masjid di Yogyakarta, Sabtu (26/12).

Menurut dia, konsep untuk menjadikan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut semata-mata ditujukan untuk mengembalikan jati diri Yogyakarta sesuai dengan konsep awal pembangunan wilayah tersebut. "Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi I dengan konsep pesantren besar dan bukan mengatasnamakan kekuasaan tetapi berbasis pada kekhalifahan," katanya.

Dengan demikian, lanjutnya, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah akan mampu mendukung keistimewaan DIY, sehingga keistimewaan tersebut tidak hanya dimaknai dalam masalah pemilihan atau penetapan gubernur saja, tetapi lebih kepada cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut tidak harus dimaknai dengan pelaksanaan syariat Islam yang saklak tetapi lebih kepada pengertian aplikatif bukan dalam arti formalistik tetapi berbasis peradaban. Melalui perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut, Jazir melanjutkan, masyarakat Yogyakarta diharapkan dapat memiliki peluang lebih besar untuk mengaplikasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Namun demikian, ia meyakini, perwujudan DIY sebagai Serambi Madinah tersebut tidak akan menimbulkan konflik baru di masyarakat, mengingat masyarakat Yogyakarta yang plural. "Saya yakin, umat lain akan paham dan menerima, karena di dalam masyarakat dengan kaum muslim sebagai mayoritas, maka umat minoritas akan terlindungi," katanya.

Sementara itu, salah satu cara untuk mewujudkan DIY sebagai Serambi Madinah adalah penguatan fungsi masjid di masyarakat, khususnya dalam penyampaian dakwah. Dengan demikian, masjid berfungsi menjadi pencerahan kepada masyarakat dan konsep untuk DIY sebagai Serambi Madinah dapat diwujudkan.

Penguatan masjid pun, menurut Herry, dapat dilakukan dengan kemitraan antar masjid, khususnya dalam manajemen. "Dengan manajemen yang terintegrasi, isu yang digulirkan pun akan menjadi lebih besar dan mengena di masyarakat," ujarnya.

( Ant / CN12 )

dari: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2009/12/26/42944/DIY-Serambi-Madinah

Kamis, 24 Desember 2009

Selain Mengaji, Santri pun Bisa Buat Robot

Taufan Yudha
01/09/2009 11:14
Liputan6.com, Kudus: Jika akhir-akhir ini santri pondok pesantren (ponpes) menjadi sorotan pemberitaan terkait merebaknya jaringan terorisme. Namun, nampaknya hal itu tidak berlaku bagi para santri di Ponpes Assa'idiyyah, Desa Kirig, Mejobo, Kudus, Jawa Tengah.

Pasalnya, untuk mengisi kegiatan selama bulan Ramadan ini, mereka memiliki cara tersendiri. Bahkan bisa dikatakan pesantren itu mempunyai cara yang tidak wajar dalam mengisi bulan Ramadan. Mereka tak hanya sekadar mengaji dan tadarus, melainkan juga bisa merakit robot.

Berdasarkan pantauan tim SCTV, Senin (31/8), aula Masjid Ponpes Assa'idiyyah dijadikan bengkel atau tempat merakit robot selalu dipenuhi para santri. Dalam aula itu terlihat beberapa santri sedang menyiapkan sebuah lintasan di atas papan putih dengan solasi hitam. Sementara beberapa santri lainnya terlihat sibuk merangkai beberapa alat elektronik.

Selang waktu kemudian, tiga buah mesin pun telah jadi. Mesin itu adalah robot line follower yang memiliki kemampuan membaca sensor garis di papan, sehingga dapat melaju sesuai dengan garis lintasannya.

Prestasi santri Ponpes Assa'idiyyah dalam membuat robot cukup membanggakan. Sebelumnya, dalam lomba robotika tingkat Jateng yang digelar Politeknik Universitas Dipenogero pada Tahun 2009, mereka berhasil menyabet juara satu sekaligus juara dua. Sedangkan dalam kontes robot tingkat Jateng dan Yogyakarta di Universitas Teknologi Yogyakarta, robot santri Assa'idiyyah menyabet juara tiga.

Menurut pengasuh Ponpes Assa'idiyyah, Harmoko, untuk membuat sebuah robot diperlukan waktu sekitar enam bulan dengan biaya hampir Rp 2 juta. Sedangkan bahan yang dipakai berasal dari mainan bekas yang sudah tak terpakai.

Rencananya Ponpes Assa'idiyyah akan terus mengembangkan tekonologi robot ciptaan mereka. Tak sebatas robot lintasan namun juga robot inovasi, seperti robot pemadam kebakaran. Bahkan mereka berobsesi untuk menciptakan sebuah robot yang dapat menjinakkan bom.(UPI/DIO)

Dari: http://tekno.liputan6.com/berita/200908/242624/Selain.Mengaji.Santri.pun.Bisa.Buat.Robot

Rabu, 09 Desember 2009

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN
Oleh. Muhammad Raqib

Bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami perubahan besar-besaran yang terjadi secara radikal dan kritis. Sebagian perubahan itu, tidak hanya menuntun pada krisis ekonomi, politik, tetapi telah merambah ke wilayah yang paling fundamental, yakni krisis moral. Sehingga pada akhirnya memaksa warga negeri ini kehilangan harapan. Ketika sebagian besar orang lebih peduli kepada kelompoknya sendiri, dunia pesantren justru terpanggil memainkan peran sebagai pembangkit kesadaran kebangsaan.

Sebagai alumni yang sama-sama telah lama mengenyam pendidikan di dunia pesantren, penulis mengajak untuk mencermati, memahami dan mengambil sikap atas perubahan tersebut. Dengan demikian, kita akan menemukan ide-ide segar tentang bagaimana cara memahami diri dan institusi pesantrennya sebagai misi perubahan.

Pesantren adalah lembaga keagamaan yang terbilang cukup lama, telah berkiprah dalam pengembangan ilmu keislaman tradisional dengan bingkai Aswaja dan moralitas luhur yang disandangnya dengan kearifan lokal.

Pada awal kelahirannya, pesantren tumbuh dan berkembang di berbagai daerah pedesaan. Di mana keberadaan pesantren, sangat kental dengan karakteristik Indonesia yang memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat.

Realitas menunjukkan bahwa pesantren sampai saat ini, memiliki pengaruh cukup kuat dalam setiap aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh tersebut, membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa setip upaya yang ditunjukkan untuk pengembangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan perlu melihat dunia pesantren.

Secara substansial, pesantren tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat pedesaan. Karena, lembaga pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertian yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnyan merupakan pendidikan yang syarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren terikhtiarkan meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral dan kemudian dikembangkan dengan rutinitas-rutinitas pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Pengabdian sosial masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dan nilai-nilai yang dipegang pesantren. Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri lebih tepatnya lagi dunia pesantren adalah seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah.

Maksudnya, kehidupan dunia disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang mereka peluk sebagai nilai yang tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai keikhlasan, kesederhanaan dan kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat yang pada gilirannya dikembangkan sebagai nilai yang paling substansial.

Di samping ketiga nilai-nilai tersebut (keikhlasan, kesederhanaa, kemandirian) sebagai landasan dasar dan menjadi acuan masyarakat luas, dan secara fundamental juga sebagai senjata untuk membendung kungkungan kapitalisme, globalisasi yang saat ini hampir menjadi agama baru yang tidak lagi terlekat oleh dimensi ruang dan waktu. Hal itu pada akhirnya membawa perubahan yang cukup signifikan dalam proses kehidupan bangsa Indonesia dari segi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dalam perspektif ini, pesantren sebagi basis keagamaan yang tidak lepas dari realitas objektif, dituntut untuk melakukan gerakan-gerakan moral-kultural dapat membaca dan memberikan solusi terhadap persoalan dan perubahan yang ada, mampu menjadi katalisator yang populis serta menumbuhkan nilai positif pesantren, setidaknya menjadi “besi” sebagai penangkis dari ketajaman pedang globalisasi, modernisasi, kapitalisme dan lain-lain yang berdampak pada budaya negatif terhadap tatanan sosial dan moralitas bangsa Indonesia.

Realitas kongkrit yang dihadapi masyarakat itu, menjadi tugas utama bagi sebuah lembaga pesantren yang menjadi standarisasi masyarakat luas untuk lebih respek terhadap fenomena yang terjadi guna menata kehidupan dan moralitas bangsa dengan mengacu pada ajaran Nabi Muhammd.

(Alumni Annuqayah 2005)

dari http://rumahiaajogja.blogspot.com/2009/01/menatap-masa-depan-pesantren.html

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN

MENATAP MASA DEPAN PESANTREN
Oleh. Muhammad Raqib

Bangsa Indonesia saat ini tengah mengalami perubahan besar-besaran yang terjadi secara radikal dan kritis. Sebagian perubahan itu, tidak hanya menuntun pada krisis ekonomi, politik, tetapi telah merambah ke wilayah yang paling fundamental, yakni krisis moral. Sehingga pada akhirnya memaksa warga negeri ini kehilangan harapan. Ketika sebagian besar orang lebih peduli kepada kelompoknya sendiri, dunia pesantren justru terpanggil memainkan peran sebagai pembangkit kesadaran kebangsaan.

Sebagai alumni yang sama-sama telah lama mengenyam pendidikan di dunia pesantren, penulis mengajak untuk mencermati, memahami dan mengambil sikap atas perubahan tersebut. Dengan demikian, kita akan menemukan ide-ide segar tentang bagaimana cara memahami diri dan institusi pesantrennya sebagai misi perubahan.

Pesantren adalah lembaga keagamaan yang terbilang cukup lama, telah berkiprah dalam pengembangan ilmu keislaman tradisional dengan bingkai Aswaja dan moralitas luhur yang disandangnya dengan kearifan lokal.

Pada awal kelahirannya, pesantren tumbuh dan berkembang di berbagai daerah pedesaan. Di mana keberadaan pesantren, sangat kental dengan karakteristik Indonesia yang memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat.

Realitas menunjukkan bahwa pesantren sampai saat ini, memiliki pengaruh cukup kuat dalam setiap aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh tersebut, membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa setip upaya yang ditunjukkan untuk pengembangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan perlu melihat dunia pesantren.

Secara substansial, pesantren tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat pedesaan. Karena, lembaga pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertian yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnyan merupakan pendidikan yang syarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren terikhtiarkan meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral dan kemudian dikembangkan dengan rutinitas-rutinitas pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.
Pengabdian sosial masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dan nilai-nilai yang dipegang pesantren. Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri lebih tepatnya lagi dunia pesantren adalah seluruh kehidupan ini diyakini sebagai ibadah.

Maksudnya, kehidupan dunia disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang mereka peluk sebagai nilai yang tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai keikhlasan, kesederhanaan dan kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat yang pada gilirannya dikembangkan sebagai nilai yang paling substansial.

Di samping ketiga nilai-nilai tersebut (keikhlasan, kesederhanaa, kemandirian) sebagai landasan dasar dan menjadi acuan masyarakat luas, dan secara fundamental juga sebagai senjata untuk membendung kungkungan kapitalisme, globalisasi yang saat ini hampir menjadi agama baru yang tidak lagi terlekat oleh dimensi ruang dan waktu. Hal itu pada akhirnya membawa perubahan yang cukup signifikan dalam proses kehidupan bangsa Indonesia dari segi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dalam perspektif ini, pesantren sebagi basis keagamaan yang tidak lepas dari realitas objektif, dituntut untuk melakukan gerakan-gerakan moral-kultural dapat membaca dan memberikan solusi terhadap persoalan dan perubahan yang ada, mampu menjadi katalisator yang populis serta menumbuhkan nilai positif pesantren, setidaknya menjadi “besi” sebagai penangkis dari ketajaman pedang globalisasi, modernisasi, kapitalisme dan lain-lain yang berdampak pada budaya negatif terhadap tatanan sosial dan moralitas bangsa Indonesia.

Realitas kongkrit yang dihadapi masyarakat itu, menjadi tugas utama bagi sebuah lembaga pesantren yang menjadi standarisasi masyarakat luas untuk lebih respek terhadap fenomena yang terjadi guna menata kehidupan dan moralitas bangsa dengan mengacu pada ajaran Nabi Muhammd.

(Alumni Annuqayah 2005)

dari http://rumahiaajogja.blogspot.com/2009/01/menatap-masa-depan-pesantren.html

Selasa, 01 Desember 2009

Pesan Soal Pesantren Buat Muhammad Nuh Menteri Pendidikan RI

Pesan (1): Pak Menteri, tolong Anda perhatikan kembali spirit pendidikan pesantren dulu ketika bangsa ini merumuskan jatidirinya. Ki Hajar Dewantara bikin Taman Siswa di antaranya dengan spirit pesantren: kesederhanaan, kemandirian, tolong menolong, dan anti kolonialisme. Karena baginya, pesantren adalah satu bentuk pendidikan nasionalis…

Pesan (2): “Taman Siswa belajar dari pesantren tentang politik non-kooperasi, penyokong swadeshi, anti subsidi, dan pendidikan sebagai pencerdasan bangsa. Slogan Taman Siswa “pendidikan untuk si kromo”, pendidikan untuk semua, “Didiklah …kamu sendiri!”, dan pendidikan untuk pemerdekaan, hampir semua ditimba dari pesantren. Itu sebabnya Taman Siswa lebih diterima di Jawa Timur dibanding di Yogya sendiri.

Pesan (3): Tapi, dasar penjajah dimanapun dan kapanpun, kolonial Belanda tidak suka persatuan Jawa-nya Taman Siswa dengan pesantren. Residen Yogyakarta, Jonquiere, menyebut Taman Siswa “verdervelijk” (bersifat merusak) serta memperingatkan golongan Islam bahwa cita-cita pendidikan Taman Siswa “tidak mengenal Tuhan” (ateis) dan “anti agama Islam”. Wah…

Pesan (4): Filosofi pendidikan pesantren: 1) sebagai sarana membentuk kemampuan bekerja dan beramal kaum santri; 2) sarana utama memahami pengalaman, menguji berbagai kecenderungan dunia ini, dan untuk memahami karakter bangsa ini, untuk membangkitkan segenap kekuatan bangsa ini; 3) untuk membentuk karakter, mengasah santri menjadi kekuatan independen, dan untuk bertahan di dunia ini. Dimanakah kini itu?

Pesan (5): Pelajaran pertama dalam pesantren adalah bagaimana kita memulai dari diri sendiri. Berbuat kebaikan dan berkorban. Lalu memberi kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang lain. Orang-orang pesantren sering mengutip hadis ini, “Khairunnas anfa’uhum linnas”. Berkorban, untuk menambah kekuatan batin. Karena adanya sebuah cita-cita dan pendirian. Apa respon Anda Pak Menteri?

ditulis oleh Ahmad Baso, Misbahuddin Jamal di pesan Facebook.com yang saya terima 27 Oktober 2009.

dari http://mishbahulmunir.wordpress.com/2009/10/28/pesan-soal-pesantren-buat-muhammad-nuh-menteri-pendidikan-ri/#comment-1155

Santri Jogja Memahami Pesantren Dan Kesantriannya

Santri Jogja Memahami Pesantren Dan Kesantriannya (Part I)
Posted on May 23, 2009 by pplq

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di indonesia, pesantren juga telah menunjukkan eksistensinya, baik melalui perannya dalam pengembangan masyarakat kecil, maupun perannya dalam usaha penyelamatan generasi muda dari ancaman dekadensi moral.

Pesantren sebagi sebuah sistem dalam lika-liku perjalanannya juga telah mengalami berbagai macam perkembangan, bila pada awalnya pesantren muncul dari dan atas kebutuhan masyarakat sekitar terhadap pembelajaran, yang sebagaimana yang saya ketahui bahwa kiai zaman dulu mempunyai sebuah pesantren melalui pengalaman sosial yang tidak pendek, biasanya di awali dengan pengajian-pengajian kecil yang beliau-beliau adakan di surau-surau mereka, yang kemudian pengajian-pengajian itu menjadi ramai dan besar, yang kemudian masyarakat jawa yang terbiasa dengan kebudayaan jawanya akan mulai memasrahkan anak-anaknya untuk dididik oleh kiai-kiai tadi, sebagaimana nenek moyang mereka dulu menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada para brahman, semula yang menitipan anaknya hanya seorang demi seorang namun seiring dengan semakin timbunya pencitraan pada masyarakat dan pentingnya sebuah pengetahuan maka lama-kelamaan pengajian kecil_surau tadi bertranformasi menjadi sebuah pesantren.

Dalam segi materi yang diajarkan pesantren juga telah bertransformasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat serta bangsa, bila pada zaman perjuangan dulu pesantren mengajarkan tentang ilmu agama disertai dengan pembelajaran anti penjajah dan cinta tanah air, maka sudah menjadi keharusan pesantren sekarang untuk melakukan instrospeksi dan otokritik serta pembacaan terhadap apa yang manjadi kebutuhan dari masyarakat dan bangsa, di era sekarang.

Yang menarik kemudian adalah bahwa pesantren di hadapkan kepada sejarah keberhasilannya mencetak santri-santri yang mampu menjadi tuntunan di masyarakatnya masing-masing, dan yang menjadi penting untuk dipahami dan dimengerti adalah bahwa sistem pengajaran pada kala itu sesuai dengan tuntutan zaman, dalam artian sesuai dengan sosial budaya yang ada pada zaman itu.

Kemudian yang menjadi tugas penting kalangan pesantren sekarang adalah bagaimana menjawab kebutuhan bangsa sekarang, kebutuhan akan santri-santri yang mampu menjawab berbagai permasalahan, baik itu permasalahan keagamaan maupun permasalahan kemasyarakatan lainnya, untuk itu sudah menjadi keharusan bagi kita sebagai seorang santri untuk mencari bagaimana formula yang pas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas.

Dan tentunya kita sebagai santri yang hidup di kota jogja , yang selalu diidentikkan dengan dengan kota pelajar juga mempuyai tanggung jawab yang sama, karena kita secara intelektual dan sosial akan lebih memiliki kapasitas untuk menjawab hal-hal diatas.

Untuk itu mari kita mulai untuk kembali meredefinisikan arah gerak adan fungsi pesantren serta bagaimana kita harus mempertanggung jawabkan status kesantrian kita, sembari kita membuka diri pada dunia luas, agar pesantren kembali mampu melestarikan tradisinya sebagai sebuah lembaga yang mampu menjawab segala kebutuhan masyarakat indonesia.(Zaim-red)wallahua’lam

dari http://www.blogcatalog.com/blog/blog-pp-al-luqmaniyyah-jogjakarta/0b33aa7f0e0340ddeb3b29e394950ee1

Jumat, 20 November 2009

Pesantren dan Tradisi Sepak Bola

Jumat pagi seperti ini biasanya para santri berhambur ke lapangan Karang yg berjarak sekitar 200 meter dari pondok. Sejak Kamis malam sampai Jumat sore kegiatan pesantren memang diliburkan. Inilah salah satu khas pesantren, hari liburnya bukan Minggu tapi Kamis malam sampai Jumat sore. Kamis malam diisi santri dg kegiatan sesuai kebijakan komplek masing-masing. Ada pula yg sengaja mengosongkan kegiatan untuk melepas penat. Kamis malam pula saatnya televisi satu-satunya di komplek mahasiswa putra dinyalakan.

Jumat pagi menjadi waktu paling ditunggu santri yg hobi bermain sepak bola karena itulah saat menguji keterampilan & beradu teknik dg santri lain. Tidak hanya santri, pengurus & para ustadz juga akan turun ke lapangan jika hasrat bermain bola telah memuncak, bahkan tidak perlu hasrat karena sudah menjadi hobi. Di samping menyehatkan, sepak bola yg merupakan olah raga kolektif menjadi ajang ukhuwah & akrabisasi antara "cah anyar" dengan "cah lawas". Ustadz & pengurus yg nampak "sangar" di hari biasa berubah jadi sahabat kental tapi tak jarang "keamanan" tetap meneriaki santri yg celananya di atas lutut (dulu, kian lama santri makin paham bahwa di manapun & kapanpun aurot harus tetap dijaga, sekalipun main bolanya ikhwan semua).

Sepak bola pesantren tak hanya berlangsung Jumat pagi, hampir tiap libur panjang diniyyah ada kompetisi liga pondok. Kelas I & III awaliyyah jadi satu tim, lalu kelas II & IV awaliyyah, kelas I, II wustho, kelas I, II ulya, serta tim pengurus & ustadz, semua akan saling bertemu di liga MDNU (Madrosah Diniyyah Nurul Ummah). Lapangan Karang dg semua kerikil & rumput keringnya menjadi saksi warga pesantren menggelinding-gelindingkanbola, meluapkan emosi, beradu lari, serta saling "body", tentunya juga gol-gol ke gawang tanpa jaring oleh top scorer masing-masing tim.

Ada sebuah kebiasaan unik seorang santri, mengenali & menghafalkan santri lain dari posisinya di lapangan. Ah, penuh kenangan..

Entah seperti apa perkembangan sepak bola ala pesantren setelah kini menjamur lapangan futsal..


Ditulis oleh Akhid Nur Setiawan Abu Kholid bin Jamal As-Sulaimani di pejuangperadaban.blogspot.com

Selasa, 20 Oktober 2009

Pesantren; Padepokan Para Pendekar

"Kalian semua adalah calon muslimah, calon istri untuk suami kalian tercinta, dan calon ibu untuk anak-anak yang kalian sayangi. Surga menurut janji Alloh, ada di bawah telapak kaki kita, perempuan. Tapi jangan lupa satu hal bahwa Alloh juga memberikan manusia kebebasan. Mau jadi apapun kalian nanti, pilihlah jalan Alloh dengan rasa bebas dan dengan hati yang ikhlas. Dengan begitu insya’alloh kita akan hidup dengan tenang dan tanpa rasa benci."

(Annisa-Perempuan Berkalung Sorban)

Apa yang dimaksud dengan pesantren?

Pesantren berasal dari kata “santri” yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an sehingga menjadi kata pesantrian atau lebih mudah kita ucapkan sebagai pesantren yang maknanya kurang lebih tempat para santri. Santri merupakan orang yang dengan khusus menuntut ilmu agama pada seorang atau beberapa orang guru/ ustadz di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu. Pada umumnya kita menyebut pesantren dengan pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan salah satu sarana pendidikan non formal yang sudah ada sejak berpuluh bahkan mungkin beratus tahun yang lalu dan sampai saat ini keberadaannya masih diakui pemerintah sebagai pendukung tujuan negara “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Secara khusus pesantren disebut oleh para calon presiden ketika kampanye atau debat di televisi sebagai sisi yang juga perlu dibina di samping pendidikan formal, kejar paket serta kursus.

Macam-macam pesantren

Pesantren sangat beraneka macam namun pada dasarnya terbagi menjadi tiga:


  1. Pesantren tradisional. Pesantren yang semua metode pembelajaran dan kitab yang dipelajarinya merupakan kitab-kitab lawas (kitab kuning). Banyak yang menamakan diri sebagai pesantren salafiyyah namun perlu dikaji lagi makna-makna di balik kata salafiyyah ini. Stigma yang muncul adalah pesantren salaf kurang bisa menerima pendapat baru atau hal-hal yang berbau modernisasi ala barat. Bahasa yang digunakan untuk pembahasan kitab biasanya bahasa Arab.
  2. Pesantren moderen. Pesantren yang pengelolaan dan kitab yang dipelajari tak semata karangan ulama terdahulu tapi juga ulama masa kini. Bahasa pengantarnya bahasa Indonesia bahkan Arab dan Inggris.
  3. Pesantren tradisional-moderen. Pesantren yang merupakan campuran antara tradisional dan moderen. Kitab-kitab yang dikaji bisa jadi kitab lama tapi pengelolaan dan pengembangannya dimanajemen secara moderen dan mngikuti perkembangan zaman.


Biasanya masing-masing pesantren mempunyai ciri khas baik dari segi ilmu yang didalami sebagai spesialisasi, santri yang tinggal, maupun output santri yang dihasilkan. Misalnya pesantren khusus penghafal al-qur’an, pesantren du’afa’, pesantren wirausaha, pesantren pemimpin muda, pesantren pencetak da’i, pesantren anak, pesantren mahasiswa, pesantren ilmu alat (cara baca kitab gundul), dan sebagainya. Meskipun memiliki kekhususan, tiap pesantren tetaplah mengajarkan ilmu-ilmu dasar dan utama dalam agama seperti aqidah, akhlaq, fiqh, baca tulis al-qur’an, bahasa arab, dan lain-lain.

Konsep pesantren

Dijelaskan oleh salah satu ustadz dalam OP3NU (Orientasi dan Pengenalan Pondok Pesantren Nurul Ummah) yang sempat saya ikuti pada pertengahan tahun 2004 bahwa pondok pesantren minimal mempunyai lima elemen. Kelima elemen tersebut di antaranya:


  1. Kiyai/ pengasuh

    Kiyai mempunyai peranan yang sangat besar dalam sebuah pesantren. Layaknya guru besar dalam sebuah padepokan silat, kiyai menjadi pemimpin, sumber ilmu utama, tauladan, orang tua, sekaligus penanggung jawab atas segala yang ada dalam pesantren. Kiyai menjadi seorang yang paling disegani oleh santri dan seluruh warga pesantren. Bagaimanapun juga, kiyai bukanlah orang suci yang perlu dikultuskan sehingga semestinya tak ada istilah “sabdo pandito ratu” (apapun yang dikatakan kiyai adalah kebenaran yang harus diikuti). Tantangan yang sangat besar pada pesantren tradisional adalah dekatnya santri dengan kebiasaan taqlid atau mengikut tanpa dasar. Memang antara taqlid dan tsiqoh/ percaya mempunyai kesamaan yang sebenarnya berbeda. Ketinggian ilmu kiyai akan sangat menggoda santri atau pengikutnya membenarkan segala yang dikatakan sang kiyai. Hal tersebut tentunya tidak salah mengingat kita dianjurkan mengilmui sebelum berkata-kata dan berbuat, pada kenyataannya kiyai memang ilmunya jauh lebih mumpuni dari santri. Yang perlu dilakukan kiyai adalah mengajarkan apapun pada santrinya disertai penjelasan atau alasan yang mendasarinya.

  2. Santri/ Siswa

    Tentu saja tidak dinamakan pesantren jika tidak ada santri, hehe... Bagian terbesar dari sebuah pesantren adalah santri. Santri lah yang digembleng dan dididik dalam sebuah pesantren. Biasanya santri berasal dari kota yang justru jauh dari lokasi pesantren misal pesantren di Jogja, santri berasal dari Lampung, Jawa Barat, Magelang, Jawa Timur, dan sebagainya. Pluralitas santri dari berbagai daerah inilah yang menjadikan pesantren sebagai tempat pendidikan yang benar-benar unik dan kompleks. Banyak hal yang bisa dipelajari santri selain dari para ustadz. Ada pesantren yang hanya menerima santri putra namun ada juga yang hanya menerima santri putri atau keduanya. Tentunya kompleks santri putra dan putri selalu terpisah.

  3. Masjid

    Rosululloh Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam membangun peradaban kota Madinah dari sebuah masjid. Inilah yang semestinya kita ikuti, menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Konon Universitas Al-Azar di mesir berawal dari masjid yang meluas dilengkapi perpustakaan dan seterusnya menjadi tempat pengkajian ilmu sampai akhirnya menjadi universitas besar seperti sekarang ini. Contoh masjid di Jogja yang mulai meluas kegiatannya menjadi pusat pendidikan adalah masjid Syuhada’ Kotabaru. Masjid memang selayaknya menjadi elemen penting dalam sebuah pesantren. Di masjid didirikan sholat jama’ah lima waktu, proses pembelajaran, sosialisasi antarwarga pesantren, sampai fungsinya sebagai mercusuar dan sarana syi’ar pesantren. Bagaimana mungkin sebuah pesantren tidak memiliki masjid atau jama’ah di masjidnya sepi, tentu akan menjadi sebuah ironi. Makmurnya masjid bisa jadi salah satu indikator keshalihan masyarakat di sekitarnya.

  4. Pondokan/ asrama

    Salah satu elemen penting pesantren adalah adanya pondokan atau asrama bagi para santri. Asrama memungkinkan kontrol lingkungan dalam rangka membentuk karakter santri. Tidak semua santri wajib mondok, ada istilah santri kalong untuk mereka yang karena kondisi tidak bisa tinggal di pondok. Santri kalong ini biasanya ikut ngaji hanya pada waktu-waktu tertentu. Kebanyakan dari mereka mengikuti kegiatan pesantren khusus malam hari seusai rutinitas harian. Inilah salah satu alasan mereka disebut santri kalong karena pergi ke pesantren waktu malam hari seperti kalong/ kelelawar yang mencari makanan di malam hari. Pondok putra dan putri selalu dipisah agar tidak terjadi hal-hal yang dilarang. Hal ini tidak sekedar masalah fiqh dan adab tapi banyak hikmah yang ada di balik pemisahan asrama putra dan putri ini.

  5. Sistem pembelajaran/ madrasah

    Semua sarana pendidikan pasti mempunyai tujuan atau output yang ingin dicapai. Bagaimana tujuan akan dicapai akan diterjemahkan dalam sebuah kurikulum. Kompetensi apa saja yang wajib bagi lulusan, kompetensi tambahan, ingin dikreasi seperti apa para santri yang mondok di pesantren, seluruhnya dituangkan dalam sistem pembelajaran. Tanpa sistem pembelajaran dan indikator yang jelas tentu capaian santri akan susah diukur/ dicapai. Sistem pembelajaran pesantren disebut madrasah diniyyah. Selain itu ada sistem kultur yang peranannya dalam mendidik santri juga tak bisa dikesampingkan. Yang jelas masing-masing pesantren punya sistem dan aturan main sendiri dalam tujuannya mendidik para santri.


Aliran dana pesantren

Sebuah pesantren tidak akan berjalan tanpa ada pendanaan baik untuk kegiatan, operasional, maupun pembangunan dan pengembangan. Rata-rata pesantren didanai secara swadaya. Dana swadaya tersebut bisa berasal dari sang kiyai, sumbangan, bantuan, usaha pesantren, koperasi pesantren, donatur, dan berbagai sumber dana halal lainnya. Tidak menutup kemungkinan pesantren didanai oleh pemerintah melalui Departemen Agama. Juga bisa saja pesantren mendapat dana dari luar negeri khususnya dari bangsa timur temah. Kerjasama beasiswa bisa juga dilakukan sebuah pesantren dengan universitas timur tengah atau dalam negeri sendiri. Yang terpenting dalam dana ini adalah kehalalan dana dan barokah yang diharapkan dari segala dana tersebut. Sebenarnya kita akan selalu heran dengan cara Alloh membagi-bagikan rizki, pesantren seakan tidak pernah kehabisan dana dalam tumbuh kembangnya. Kalau ada pesantren yang gulung tikar, mungkin perlu dipertanyakan landasan pendiriannya, niat pendirinya, dan sebagainya. Allohu a’lam...

Kegiatan rutin tahunan

Tiap pesantren pasti mempunyai kegiatan tahunan baik penerimaan santri baru, pelepasan santri yang sudah lulus, akhir tahunan, khataman, maupun kegiatan yang bertujuan untuk melakukan syi’ar kepada masyarakat sekitar. Pesantren akan mengundang kiyai dari pesantren lain untuk mengisi pengajian akbar atau santri pesantren lain untuk mengisi acara. Sholawat diiringi rebana menjadi hiburan khas acara pesantren.

Kegiatan tahunan ini merupakan ajang berkumpulnya santri alumni untuk silaturahim dan mengenang masa-masa prihatin jadi seorang santri. Santri pesantren lain pun akan datang dengan truk atau bis sehingga suasana benar-benar ramai. Bagi masyarakat sekitar kegiatan ini bisa menambah penghasilan dengan membuka kios karena pesantren dan jalan-jalan di sekitar kontan tak ubahnya pasar malam yang begitu ramai dipadati manusia. Decak kagum dan subhanalloh akan keluar dari mulut kita ketika melihat “dipajangnya” pada hufadz di panggung acara, motivator dahsyat untuk santri lain dan pengunjung yang datang.

Keunikan pesantren

Banyak hal yang kita temukan di pesantren dan tak akan kita temukan di tempat lain. Sarung, baju koko, dan kopyah; pakaian khas pesantren yang menjadi simbol umat muslim Indonesia. Guyup; satu kata yang menggambarkan betapa senasip sepenanggungannya para santri. Hal ini akan nampak ketika ada “jajan” atau makanan, jumlah tak akan jadi masalah, semua santri biasanya tetap mendapat bagian. Nampak juga rasa guyup itu dalam kebiasaan berbagi makan di nampan lebar dengan sekian banyak santri mengelilinginya. Seorang santri yang baru saja mudik seakan wajib membawa oleh-oleh dan memang itulah adabnya, “Jajane ndi Kang?”

Santri baru akan diplonco atau digojlok oleh teman sekamar atau sekomplek dengan cara unik pula meskipun pesantren secara formal sudah mengadakan masa orientasi. Mulai dari didiamkan, disuruh-suruh, dimarah-marahi, diminta bawa jajan, yang jelas untuk menguji mental “cah anyar”. Setelah berlalu setahun dan ada santri baru, predikat “cah anyar” baru akan pudar dan seterusnya.

Ah, rasanya terlalu banyak keunikan yang ada di pesantren tapi tidak ada di tempat lain. Kurang dari setahun pengalaman saya di Pondok Pesantren Nurul Ummah Kotagede telah menanamkan sejuta kesan. Silakan tulis juga pengalaman Anda terkait pesantren di kolom komentar.

Santri, petinju dan pendekar

Analogi ini saya dapatkan dari ustadz pengelola asrama Pondok Pesantren Mahasiswa Islamic Centre Al-Muhtadin Seturan ketika beliau menyampaikan masalah dakwah kampus. Pak Apri mengumpamakan aktivitas dakwah dengan aktivitas seorang petinju. Seorang petinju tentunya mempunyai sasana tempatnya berlatih dan lawan-lawan yang perlu dikalahkannya agar akhirnya mendapatkan gelar juara. Pesantren layaknya sasana dan mad’u beserta masalah-masalah dakwah sebagai lawan tanding. Di sasana petinju selalu mempunyai pelatih, sangsak dan ring juga sarana latihan lain untuk meningkatkan kemampuan. Dalam pertandingan petinju selalu mempunyai lawan dengan berbagai jurus dan karakter.

Ketekunan berlatih seorang petinju di sasana dikombinasikan dengan pengalaman bertandingnya akan menjadi faktor tercapainya gelar juara. Sebagai santri hendaknya tidak terkurung di pesantren bagai katak dalam tempurung tapi juga banyak bertanding alias berdakwah menyebarkan ilmu dan mengaplikasikannya di masyarakat. Jika hal tersebut tidak dilakukan, bukan tidak mungkin santri hanya akan sholih secara pribadi tapi tidak sholih secara sosial sehingga ketika keluar dari pesantren santri akan kolaps menghadapi tantangan dakwah yang tidak senyaman di pesantren.

Rata-rata pesantren mempunyai sarana “latih tanding” untuk menambah pengalaman santri sebagai da’i di masyarakat. Entah namanya apa, pada intinya santri diajarkan untuk menerapkan ilmunya di masyarakat. Ada yang mempunyai desa binaan, sekolah binaan, atau program lain di luar pesantren. Pesantren biasanya menjadi “jujugan” ketika masyarakat membutuhkan penceramah, sebuah “pertandingan” juga tentunya.

Pendekar akan mengembara membasmi kejahatan serta menegakkan kebenaran dan keadilan setelah berhasil menguasai seluruh ilmu dari gurunya. Ini berlaku bagi santri ketika sudah lulus dari pesantren. Santri yang sudah lulus ada yang langsung pulang kampung dan ada yang mengajar di pesantren tempatnya menuntut ilmu. Seorang santri haruslah memanfaatkan ilmunya, mengajarkannya, serta menggunakannya untuk kemaslahatan umat.

Lulusan pesantren

Zaman dulu umumnya lulusan pesantren akan mendirikan pesantren juga tapi entah sekarang karena pesantren sudah banyak. Setidaknya seorang lulusan pesantren akan menjadi pelita di daerah asalnya masing-masing. Satu lagi analogi yang saya dapat dari obrolan santri Nurul Ummah, “Sampeyan neng kene ki bagaikan lampu lima watt di antara lampu berpuluh-puluh watt jadi gak kelihatan terang. Di tempat lain, lampu lima watt kelihatan sangat terang dan berguna.”
Nyantri itu seperti pergi dari kegelapan menuju cahaya, menyalakannya dalam diri lalu membawa pulang kembali ke tempat gelap sehingga kegelapan itu sirna.

Lulusan pesantren mempunyai ikatan batin yang kuat dengan pesantren jadi silaturahim akan tetap dijaga dengan berkunjung setahun sekali atau ketika ada acara pesantren besar-besaran. Pak Kiyai atau Bu Nyai akan selalu menanyakan keadaan alumni santri ketika berkunjung kembali, biasanya terkait keluarga, karir dan penerapan ilmu. Tak jarang pula lulusan komplek putra berjodoh dengan lulusan komplek putri, nostalgia akan semakin seru... :D

Permasalahan pesantren masa kini

Seiring dengan perubahan zaman pesantren pun mengalami perubahan dan menghadapi berbagai permasalahan yang belum pernah ada sebelumnya.
Perempuan Berkalung Sorban menjadi gambaran stigma terhadap pesantren yang berhasil difilmkan. Pesantren digambarkan kolot dan anti teknologi, bahkan membaca buku non agamis dilarang sampai akhirnya Annisa mendirikan perpustakaan di pondok pesantren tersebut. Ada benarnya tapi rasanya tidak se-ekstrim itu...

Sengaja saya jadikan kutipan kata-kata Annisa tokoh utama film Perempuan Berkalung Sorban sebagai pembuka tulisan ini karena saya ingin menyampaikan kepada para pembaca bahwa hakikatnya pesantren bukanlah tempat mengurung anak-anak nakal agar “sembuh” dan menjadi baik. Pesantren bukan tempat memasung ide dan kreatifitas. Pesantren bukan tempat menutup diri dan mengisolasi pergaulan. Pesantren menjadi pilihan dan justru kebebasan akan kita temukan di pesantren, kebebasan dari segala keburukan dunia menuju lingkungan yang baik. Pembebasan diri dari segala thoghut dunia dan berusaha menempatkan dunia pada tempatnya untuk mendapatkan akhirat.

Pondok Pesantren Ngruki yang diasuh oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menjadi salah satu contoh bagaimana pesantren dianggap sarang teroris. Tak ada kaitan sama sekali pesantren dengan terorisme. Bab terorisme tak ada dalam kurikulum pesantren. Adapun jihad memang sebuah kewajiban dalam islam tapi jihad sama sekali berbeda dengan terorisme. Keburukan yang dilakukan seorang alumni tidak bisa langsung dihubungkan dengan pesantren. Tidak semua lulusan pesantren baik, sekali lagi hidayah adalah kepunyaan dan hak Alloh. Ada santri yang lulus lalu merasa bebas dari penjara pesantren sehingga kembali “mbambung” tapi jauh lebih banyak yang tetap istiqomah. Logika media dan intelijen kadang memang menyakitkan bagi mereka yang benar-benar berada di lapangan dan mengetahui apa yang sebenarnya.

Salah satu pesantren di Jawa Timur belakangan juga menjadi berita di televisi karena puluhan santrinya diduga terserang flu burung. Personal hiegyne dan kebiasaan-kebiasaan tidak care pada kesehatan memang sering menjadi masalah sebuah pesantren. Hal ini perlu ditindaklanjuti dan diadakan kerjasama atarinstansi agar berbagai macam penyakit tidak timbul di pesantren-pesantren lain. Terkadang sakit menjadi sarana tarbiyah juga, bagaimana santri satu sama lain saling ngrumat. Penyakit psikologis, psikosomatis, dan sebagainya sebenarnya boleh jadi hanya karena adaptasi lingkungan karena jauh dari keluarga, harus berbagi dan lain-lain.

Mungkin masih banyak permasalahan pesantren yang belum bisa disebutkan di sini dan masing-masing pesantren tentu punya cara tersendiri untuk mengatasi masalah. Kebijakan pemerintah dan kerjasama masyarakat pastinya sangat membantu perbaikan pesantren di masa kini dan yang akan datang.

Pesantren masa depan

Mungkin kita pernah mendengar pesantren virtual atau pesantren online. Hal tersebut merupakan pengembangan pesantren yang telah ada. Karena keterbatasan waktu dan tempat, muncul inovasi bahwa nyantri tidak perlu mondok atau tinggal di asrama dan tidak perlu bertemu dengan ustadz secara langsung. Apa ini tidak bertentangan dengan kebiasaan dan membuat sesuatu yang baru? Menuntut ilmu yang dicontohkan oleh para sahabat, perowi hadits dan para tabi’in memang bertemu langsung dengan sumber ilmu, menghadapi kitab dan sang guru menjelaskan isi kitab atau mendengar penuturan langsung dari perowi ilmu. Saat ini sepertinya hal tersebut semakin jarang dilakukan oleh para penuntut ilmu yang memiliki kesibukan tinggi dalam kehidupan sehari-harinya.

Alhamdulillah sekarang sudah ada teknologi yang bisa banyak membantu dan mempermudah kita menuntut ilmu alias nyantri. Tentunya pahala payah tidak ada lagi ketika semuanya kian mudah. Kita bisa mengaji dengan sekedar ketik REG (spasi) NGAJI, putar potensio radio, pencet remot televisi, mengetik alamat website, baca buku ini itu dan sebagainya. Sarana yang kian mudah ini semoga tidak mengurangi nilai mujahadah para penuntut ilmu (santri). Bukan tidak mungkin semua orang adalah santri dan masyarakat kita menjadi sebuah komunitas santri, kota kita menjadi kota santri.

Jogja Kota Santri 2020

Ini adalah mimpi dari seorang Akhid Nur Setiawan Abu Kholid bin Jamal Assulaimani karena kerinduannya pada suasana pesantren dan kota santri yang digambarkan dalam sebuah lagu yang sangat terkenal.

“Suasana di kota santri asyik senangkan hati. Tiap pagi dan sore hari muda-mudi berbusana rapi menyandang kitab suci hilir mudik silih berganti pulang pergi mengaji.” (Kota Santri)

“Suasana pengajian petang seperempat malam pertama, riuh rendah suara hafalan atau cemeti hukuman. Hening hanya decahan kala epik dipaparkan, liku-liku perjuangan para pahlawan Islam yang gagah perkasa di medan perjuangan yang tak takut mati untuk meraih kemuliaan Islam.” (Kenangan Bersama Ayah)

Kriteria Jogja sebagai kota santri bukan hanya semakin maraknya didirikan pondok pesantren dan kajian di Jogja namun juga kepribadian masyarakat Jogja yang kembali ramah, santun, berpakaian dan berakhlak islami, gemar menuntut ilmu, mengaji alqur’an, berdakwah dan saling menasihati di segala tempat, serta segala kriteria negeri madani lainnya.

Semoga “Jogja Kota Santri 2020” bukan hanya angan. Mari berperan serta dengan menebarkan segala kebaikan di lingkungan sekitar kita. Serulah orang lain sembari memperbaiki diri. Jadilah da’i sebelum apapun.

Penutup

Semoga tulisan ini bisa menambah khasanah ilmu pengetahuan kita tentang PESANTREN dan memacu kita untuk mewujudkan pribadi santri di manapun kita berada.

Silakan bergabung di grup “Jogja Kota Santri 2020” melalui link berikut ini: http://www.facebook.com/group.php?gid=139301800863 . Ajak semua teman untuk menjadi bagian dari perubahan peradaban ke arah yang lebih baik.

Jangan lupa kunjungi juga http://jogjakotasantri2020.blogspot.com.

Tulisan ini tidak mewakili pemikiran fikroh atau organisasi tertentu, ini murni pendapat dan penemuan saya pribadi.

Rabu, 14 Oktober 2009

Bismillah...

Assalaamu 'alaykum...

Ini adalah website resmi Jogja Kota Santri 2020. Semoga kian manfaat kian barokah...
Jazakumulloh...

Wassalaamu 'alaykum...